TUGAS MAKALAH
1.1
Latar Belakang
Salah
satu karakteristik Islam sebagai suatu agama pada awal perkembangannya
adalah kejayaan di
bidang politik. Islam tidak hanya menjadi sebagai landasan untuk
berkomunikasi pada Allah bagi manusia yang mempercayai kebenaran yang satu dan
yang sama, melainkan juga sebagai landasan kehidupan masyarakat yang bersifat
menyeluruh. Hal tersebut kemudian menyebabkan timbulnya suatu gagasan mengenai
Islam sebagai ideologi negara, terutama di negara yang mayoritas penduduknya
memeluk agama Islam.
Gagasan
mengenai Islam sebagai asas negara biasa diwujudkan dengan kata fiqh (fikih)
dan syari'ah (syariat). Fikih memiliki makna yang luas, yaitu berbagai upaya
untuk menggabungkan rincian hukum ke dalam norma-norma suatu negara, menjadikan
peraturan-peraturan dengan perujukan kepada wahyu, mendebatkannya, atau menulis
kitab dan risalah tentang hukum merupakan ruang lingkup fikih.
Sejalan dengan waktu dan
disertai oleh tersebarnya agama Islam ke seluruh penjuru dunia, tentu saja
telah terjadi kontak sosial dan budaya, sedikit banyak berpengaruh kepada
ajaran agama Islam Budaya masyarakat
dari waktu ke waktu akan mengalami perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman
Ajaran Islam itu dituntut untuk dapat menyesuaikan dan menjawab segala macam
tantangan zaman, karena syariah Islam adalah syariah yang berdasarkan wahyu
Ilahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah dikenal, baik yang dinukilkan dari
Nabi, seperti: al-Qur'an dan Sunnah, atau pun yang diwujudkan oleh akal.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa makna politik dalam
perspektif agama islam ?
2. Bagaimana nilai-nilai sistem
politik berdasarkan Al-Quran ?
3. Bagaimana ruang lingkup siyasah dusturiyyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Politik Islam
- Politik dari segi Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata
politik mempunyai beberapa pengertian, yaitu: (1) ilmu/pengetahuan mengenai ketatanegaraan
atau kenegaraan; (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan
sebagainya) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain; dan (3)
kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[1]
Secara etimologi kata “politik”
berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata “polis” yang memiliki arti kota dan
Negara kota. Kata “polis” tersebut berkembang menjadi kata lain seperti
“politis” yang berarti warga Negara dan “politikus” yang berarti
kewarganegaraan. [2]
- Politik dari Segi Agama
Persoalan hubungan agama dan
negara di masa modern menjadi salah satu
subjek penting yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam hingga
sekarang namun tetap belum terpecahkan
secara mutlak. Otoritas politik memiliki urgensinya dan harus terwakilkan
sebagai institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut para
sosiolog teorisi politik islam membuat beberapa teori mengenai hubungan antara
agama dan negara. Teori-teori tersebut dibedakan menjadi tiga paradigma
pemikiran yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma
sekularistik[3].
a. Paradigma
Integralistik
Paradigma integralistik merupakan
konsep mengenai hubungan antara agama dan negara sebagai dua lembaga yang
menyatu (interated) yang menganggap bahwa agama dan Negara merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat tidak dipisahkan. Ini juga memberikan suatu makna bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini
menegaskan bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan
konsep agama-negara. Yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan
menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. kemudian paradigma integralistik
dikenal juga dengan paham Islam : din wa dawlah.
b. Paradigma
simbiotik
Dalam konteks ini, agama
membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan
agama. Begitu juga Negara yang memerlukan agama, karena agama juga membantu
Negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Dalam konsep ini,
hubungan agama dan Negara merupakan suatu hal yang saling membutuhkan dan
bersifat timbal balik.
Dalam paradigma ini, Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia
merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara,
maka agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al Siyasah al Syar’iyyah: 162).
Pedapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan Negara
merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya,
konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya
kontrak sosial, tetapi bisa saja diwarnai oleh syari’at.
c. Paradigma
Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terdapat pemisahan antara agama dan Negara. Agama dan Negara
merupakan dua bentuk yang berbeda yang memiliki spesialisasi bidangnya
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi. Sehingga hokum yang berlaku adalah hukum yang
berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada
kaitannya dengan syari’ah.
Konsep sekularistik berasal dari pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan
bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah saw pun tidak ditemukan keinginan Nabi
Muhammad SAW untuk mendirikan politik. Rasulullah saw hanya penyampaian risalah
kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada manusia
Cita-cita politik seperti yang
dijanjikan Allah kepada orang-orang beriman dan beramal saleh dalam al-Qur’an
adalah (1) terwujudnya sebuah sistem politik, (2) berlakunya hukum Islam dalam
masyarakat secara mantap, dan (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan
masyarakat.[4]
Berdasarkan perkembangan sejarah
islam, menurut para ahli, dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu periode
klasik (1250 M), pertengahan (1250 – 1800 M), dan modern (1800-sekarang).
A. Pemikiran
Politik Islam Abad Klasik dan Pertengahan.
Al-Farabi, al-mawardi,
al-ghazali, dan Ibn Taimiyah serta Ibn Khaldun adalah para tokoh pemikir dan
praktisi politik abad klasik dan pertengahan. Dalam beberapa hal mereka
memiliki kesamaan visi dan pemikiran. Akan tetapi, sebagai anak dari zaman yang
berbeda dari apa yang mereka hadapi menimbulkan perbedaan yang terkadang bahkan
cukup mendasar.
Ciri umum politik islam pada masa
klasik dan pertengahan yaitu ditandai oleh pandangan yang bersifat khalifah
sentris. Kepala negara atau khalifah memegang peranan utama dan memiliki
kekuasaan yang sangat luas, rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara,
bahkan sebagian pemikir sunni terkadang sangat berlebihan. Biasanya mereka
mencari dasar untuk melegitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya
dengan menjadikan landasan yang bersumber dari Al-Quran, seperti An-Nisa 4: 59
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri
(para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul, jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(An-nisa ayat 59).
Serta surah Al-An’am 6:165 yang berbunyi sebagai berikut.
Artinya : Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Selain itu, Hadis Nabi SAW juga terdapat hal-hal mengani
kepatuhan terhadap kepala negara. Seperti orang yang keluar dari jamaah, lalu
meninggal dunia maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah. Al Mawardi mengutip
hadis yang berasal dai Abu Hurairah yang memerintahkan umat islam mendengarkan
dan menaati pemimpin setelah nabi, baik atau buruk “Kalau pemimpin itu baik, maka kebaikannya untuk ketentraman kalian dan
ia akan mendapat pahala. Sebaliknya, kalau pemimpin itu buruk, maka kalian
mendapat pahala dan mereka mendapat dosa” dengan demikian, berpengaruh
besar terhadap perkembangan politik islam terutama sejak dinasti Bani Abbas
berkuasa hingga Abad Pertengahan
Di masa
ini, terjadi perubahan konsep khalifah setelah al-khulafa al-rasyidin. Pada
masa khalifah yang keempat pasca wafatnya Rasulullah, kepala negara hanyalah
sebagai khadim al ummah (pelayan umat) yang lebih mengutamakan pelayanan
kepentingan umat islam dan dipilih tidak berdasarkan garis keturunan, lalu
kemudian setelah itu berubah menjadi Zhill Allah fi al-ardh (bayang-bayang
Allah di muka bumi) dan diangkat secara turun-temurun. Perubahan konsep ini
bermula dari pernyataan Abu Ja’far Al-Manshur ketika berhasil menumbangakan
kekhalifahan dinasti bani Umaiyah. Ia mengklaim dirinya sebagai bayang-bayang
Tuhan di muka bumi. Kekuasaannya dipandang suci dan mutlak serta harus dipatuhi
oleh umat islam. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya kontrol masyarakat
terhadap kekuasaan. Di kalangan pemikir kelompok Sunni terdapat suatu pandangan
yang tidak membenarkan melakukan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa, bahkan
pemberontakan meskipun pemerintahannya bersifat korup dan despotik.
B. Pemikiran
Politik Islam Modern
Pada abad ke
19 hingga awa abad ke 20 memperlihatkan hampir seluruh wilayah islam berada di
bawah penjajahan negara barat. Umat islam lebih banyak mengandalkan pemahaman
ulama-ulama masa lalu, daripada melakukan terobosan-terobosan baru dalam
menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Kontak umat islam negara
barat membawa hikmah bagi umat islam. Adanya kkontak tersebut menyadarkan umat
islam bahwa telah mengalami kemunduran dibandingkan dengan barat. Keadaan
tersebut terbalik dari abad pertengahan saat umat islam menguasai ilmu dan
peradaban. Tokoh pemikir pada zaman ini yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afgani, Moh
Abduh, Muh Rasyid Ridha, Muh Iqbal, Mustafa Kemal, Thaha Husein hingga Abu al-
A’la al-Maududi.
Keadaan
berbalik pada masa modern, kekalahan-kekalahan dinasti utsmani dari barat
membuat negara barat dapat menguasai dunia islam. Di samping menjajah, negara
barat juga mengembangkan gagasan pemikiran dari kebudayaan mereka ke
tengah-tengah masyarakat muslim. Menghadapi pengaruh barat ini, sebagian umat
muslim ada yang bersikap apriori dan antii barat. Ada yang menolah dan ada pula
yang berusaha mengambil nilai-nilai positif dari peradaban pemikiran barat, si
damping membuang nilai-nilai yang bertentangan dengan islam.
Muncullah
beberapa kolompok pada masa ini, yaitu kelompok pertama, kelompok integralis
yang menganggap bahwa islam adalah agamayang sempurana, umat islam harus
meneladani politik yang dijalankan Rasulullah dan penerusNya tanpa meniru
barat. Kelompok kedua adalah kelopok sekularis yang menganggap islam dan
politik merupakan kelompok yang berbeda. Islam tidak menggariskan aturan
politik yang baku dan Nabi SAW diutus idak untuk mendrikan negara. Untuk
kemajuan politik umat islam, umat islam
boleh menirukan perkembngan peradaban politik barat. Kelompok ketiga adalah
kelompok yang meolak pandangan kelompok pertama dan kedua. Mereka berpendapat
bahwa islam hanya memberikan seperangkat nilai-nilai politik yang harus
diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi umatnya. Oleh karena
itu, umat islam mengadpsi politik barat sejauh tidak bertentangan dengan
nilia-nilai ajaran umat islam.
Beberapa
negara di dunia sebagian besar sedang mengembangkan model simbiotik
multikulturalistik, antara lain Amerika Latin, Inggris dan Indonesia sendiri
dengan negara Pancasila-nya sebagai dasar negara yang mempresentasikan hubungan
yang harmoni antara imparsialitas negara dengan nilai-nilai agama yang dianut
pemeluknya. Agama tetap bisa memberi peran serta dan sumbangan dalam kehidupan
bernegara, dan negara selalu mengayomi kehidupan keagamaan di Indonesia, namun
di sisi lain negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekular.
2.2 Nilai-nilai sistem politik dalam Al-Quran
Al-Qur’an tidak mengemukakan
secara eksplisit mengenai suatu struktur dan fungsi sistem politik, akan tetapi
dapat ditemukan adanya unsur-unsur tersebut. Di dalam Al-Quran, Allah
mewajibkan kita untuk taat kepada pemerintah yaitu kepala negara. Di dalam
Al-Quran, Allah berfirman
Artinya:“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit.Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”. (Al-Maidah: 44)
Sehingga
konsekuensi terhadap fungsi-fungsi pemerintahan adalah adanya struktur yang
dimiliki oleh sistem politik, struktur fundamentalnya terdiri atas unsur
lembaga pemerintahan dan unsur rakyat. Mengenai pelembagaan struktur tidak
dapat ditemukan secara ekplisit dalam Al-Quran akan tetapi konsep mengenai
struktur poltik dapat di wujudkan berdasarkan prinsip-prinsip politik yang
terkandung di dalam Al-Quran dan dari implementasi pemerintahan Rasulullah SAW
dan para khulafa al-rasyidin sesudahnya. Sehingga dalam konteks tersebut,
Allah hanya memberikan konsepsi prinsip-prinsip taat kepada struktur pemegang
pemerintahan sebagai berikut.
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri
(para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul, jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(An-nisa ayat 59).
Sebagian golongan mengatakan
bahwa yang dinamakan khalifah adalah wakil atau pengganti karena ia bertugas
menggantikan dan mewakilkan peran Rasulullah SAW dalam memimpin umat islam.
Ulama berbeda pendapat dimana sebagian ulama memperbolehkannya karena ia
bertuga menjalankan hak-hak Allah atas hamba-hamba-Nya berdasarkan firma Allah
SWT,
Artinya : Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An’am:165)
Akan tetapi jumhur ulama
melarang hal tersebut, mereka menilai orang yang memanggil kepala negara
seperti itu sebagai orang yang berbuat dosa, karena perwakilan hanya dapat
dilakukan bagi orang yang tidak ada atau telah mati, sementara Allah Mahaada
dan tidak pula mati.[5]
Demikian pula dalam peradilan,
berdasarkan surah Shaad:26, yaitu
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nfsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah.....”
Allah SWT tidak semata-mata
memberikan mandat tanpa wewenang untuk bertindak dan tidak memberikan toleransi
baginya untuk mengikuti hawa nafsunya sehingga menggolongkannya sebagai sesat.
Meskipun seseorang memiliki hak berdasarkan agama dan jabatan kepala negara,
akan tetapi ia termasuk bagian dari hak-hak politik seluruh rakyat. Sehingga ia
harus melakukan kebijkan politik umat islam dengan baik dan menjaga negara.
Dalam konteks perang pada masa Rasulullah, penyerahan wewenang dan mandat
kepada pimpinan ditujukan untuk mengatur strategi perang sehingga tidak ada
pendapat yang berbenturan yang mengakibatkan perpecahan. Landasan tersebut
berdasar pada surah An-Nisa : 83 yang menyatakan “.....Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di
antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dapat
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)...”
Al-Quran sebagai pedoman umat
islam mengandung nilai-nilai dasar yang harus diimplementasikan dalam
pengembangan sistem politik Islam, diantaranya :
1.
Keharusan mewujudkan persatuan umat sebagaimana
QS Al-Mukminun :52 dan Q.S. Al-Anbiya :92.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang
satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” QS.
Al-Mukminun:52 dan QS. Al-Anbiya:92.
2.
Musyawarah dalam penyelesaian masalah,
sebagaimana QS. As-Syura:38 dan QS. Ali-Imron:159
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.” QS. As-Syura:38
Dan demikian pula pada surah Ali
Imron sebagai berikut:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” QS.
Ali-Imron:159.
3.
Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum
secara adil. QS. An-Nisa:58 sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” QS. An-Nisa:58
4.
Keharusan menaati Allah, Rasulullah dan Ulil
amri sebagaimana dalam QS. An-Nisa:59 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” QS. An-Nisa:59.
5.
Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok
dalam masyarakat Islam berdasar pada QS. Al-Hujurat:9 yang artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
QS. Al-Hujurat:9.
6.
Keharusan mempertahankan kedaulatan negara (QS.
Al-Mumtahanah:1) yaitu “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman
kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku
dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan
secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih
sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya
dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
7.
Mengutamakan perdamaian daripada permusuhan (QS.
Al-Hujurat:9). “Dan kalau ada dua
golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara
keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al-Hujurat:9.
8.
Keharusan menepati janji berdasar pada surah
An-Nahl:91 yang artinya : “Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan
Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” QS. An-Nahl:91.
9.
Kewajiban taat terhadap pelaksanaan hukum
sebagaimana QS. Al-An’am:57.
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata
(Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa
(azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan
yang paling baik".” QS. Al-Anam:57.
2.3
Siyasah Dusturriyah.
Dalam kamus bahasa Arab, siyasah
secara etimologi mempunyai beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah,
memimpin, membuat kebijaksanaan, pemerintahan dan politik[6].
Sedangkan secara istilah atau termologi, siyasah adalah suatu perbuatan yang
membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan walaupun
Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak mewahyukannya baik kepentingan agama,
sosial dan politik.
Siyasah
dusturiyah merupakan salah satu bagian fiqh siyasah yang membahas masalah
perundang-undangan negara. Dalam hal tersebut juga membahas konsep-konsep
konstitusi meliputi undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya
perundang-undangan dalam suatu negara, legislasi mengenai bagaimana cara
perumusan undang-undang, lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar-pilar
utama dalam perundang-undangan tersebut. Selain itu, kajian ini juga membahas
konsep negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara pemerintah
dan warga negara serta hak-hak warga negara yang wajib dilindungi.[7]
Di dalam Trias
Politica, Terdapat tiga fungsi utama yang dikenal sebagai fungsi output atau fungsi pemerintahan dapat
ditemukan. diantaranya dalam kewajiban pemerintah membuat peraturan-peraturan
hukum yang adil yaitu fungsi legislatif, melaksanakan hukum-hukum agama dan
hukum perundang-undangan yaitu fungsi eksekutif, dan melaksanakan tugas
peradilan terhadap tindakan-tindakan yang menyerang dan melanggar hukum (fungsi
yudikatif).
Fiqh
Siyasah Dusturiyyah mencangkup berbagai bidang kehidupan yang cukup luas dan
kompleks. Sumber fiqh dustur yang pertama adalah Al-Quran Al-Karim . Kemudian
kedua adalah hadis-hadis yang berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasulullah SAW di dalam
menerapkan hukum di Negeri Arab. Ketiga, kebijakan-kebijakan khulafa
al-rasyidin di dalam mengendalikan pemerintahan. Walaupun berbeda gaya
pemerintahan, tetapi pada dasarnya mereka memiliki persamaan untuk berorientasi
sebesar-besarnya untuk kemashlahatan rakyat. Keempat, hasil ijtihad para ulama,
dimana di dalam masalah fiqh dusturihassil ijjtuuhad ulama sangat membantu
dalam memahami semagat dan prinsip fiqh dusturi.
Fiqh
Siyasah Dusturiyyah dapat dibagi menjadi :
- Bidang Siyasah Tasyri’iyah, politik perundang-undangan meliputi pengkajian tentang penetapan hukum oleh lembaga legislatif seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pelaksanaan, Peraturan Daerah, dan sebagainya. Sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 mengatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut selaras dengan QS. Al-Ikhlas Ayat 1 yang artinya “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa” sehingga UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang berhubungan dengan keyakinan (akidah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama menjadi konsep utama dengan dijadikannya sebagai sila Pancasila yang pertama. Pada alenia ketiga, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa....” menandakan bahwa Indonesia mengakui nilai-nilai agama yang sekaligus dijadikan dasar dalam membangun hukum positif dan dasar moral negara.
- Bidang Siyasah Tanfidiyyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah yang berada di bidang eksekutif dalam melaksanakan undang-undang. Seperti halnya pemerintah memberikan keistimewaan melalui UU no. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi NAD yang kemudian diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk melaksanakan hukum pidana islam.
- Bidang Siyasah Qadlaiyah, menyangkut masalah-masalah peradilan oleh lembaga yudikatif. Nilai-nilai keislaman dapat ditemukan di sejumlah pasal terutama pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
- Bidang Siyasah Idariyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah administratif dan kepegawaian oleh birokrasi atau eksekutif. Birokrasi memberikan kejelasan bagi rakyatnya sebagaimana melalui yang tercantum dalam UU no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan, yang kemudian dikembangkan lagi dengan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.[8]
[1] Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995, cet. Ke-8. hlm. 694.
[2] A.P .Cowie, Oxford Leaner’s Dictionary ,
Oxford: Oxford University Press, 1990, hlm. 190.
[3]Agustia Rahman ,”Agama dan Negara”, diakses dari http://www.agustiarahman.com/2010/05/agama-dan-negara.html,
pada tanggal 07 Mei 2018 pukul 14:39
[4] Abdul
Mu’in Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm. 290
[5]
Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam.Jakarta :
Gema Insani Press,2002, hlm. 36
[6] J.
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, cet. Ke-5, 2002, hlm. 23.
[7] Dr.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah ‚ Konstektualisasi Doktrin Politik Islam‛.
Jakarta, Prenadamedia Group. 2014, hlm.
177 2
[8]_,”Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyyah”, diakses dari https://www.suduthukum.com/2017/04/ruang-lingkup-siyasah-dusturiyah.html,
pada tanggal 07 Mei 2018 pukul 17:39
Langit dan bumi beserta seluruh isinya adalah hasil ciptaan dan milik ALLOH SWT, maka yg yg berkuasa penuh untuk menjadi Raja / Pemimpin dan Penguasa / Pe-merintah di jagat raya ini hanyalah ALLOh SWT...
BalasHapusSedangkan makhluk-Nya yg diberi Legalitas oleh ALLOH SWT untuk menjadi RAJA / Penguasa / Pemerintah di planet Bumi ini hanyalah Para ROSUL-NYA dari sejak Nabi Adam AS hinngga Nabi Muhammad SAW.
Setelah Nabi Muhammad SAW Wafat maka yg berhak menjadi Pewaris RISALAH (Aqidah, Syari'ah, Qiyadah dan Daulah Islam adalah Kholifah Islam yg diangkat melalui mekanisme Syuro Assyiasah.
JAdi setiap pemimpin itu harus menjadi WAKIL ALLOH SWT dibumi untuk mewujudkan Aqidah Islam, Syariah Islam, dan Qiyadah (kepemimpinan) Islam dalam wadah Daulah/Khliafah Islam.
Jika tidak begitu berarti ia telah berkhianat dan dzolim kepada ALLOH SWT, ia telah menghianati Alloh SWT sebagai Tuhannya