Kamis, 03 Januari 2019

NKRI Dalam Perspektif Politik Islam



TUGAS MAKALAH

1.1   Latar Belakang

Salah satu karakteristik Islam sebagai suatu agama pada awal perkembangannya adalah  kejayaan  di  bidang politik. Islam tidak hanya menjadi sebagai landasan untuk berkomunikasi pada Allah bagi manusia yang mempercayai kebenaran yang satu dan yang sama, melainkan juga sebagai landasan kehidupan masyarakat yang bersifat menyeluruh. Hal tersebut kemudian menyebabkan timbulnya suatu gagasan mengenai Islam sebagai ideologi negara, terutama di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Gagasan mengenai Islam sebagai asas negara biasa diwujudkan dengan kata fiqh (fikih) dan syari'ah (syariat). Fikih memiliki makna yang luas, yaitu berbagai upaya untuk menggabungkan rincian hukum ke dalam norma-norma suatu negara, menjadikan peraturan-peraturan dengan perujukan kepada wahyu, mendebatkannya, atau menulis kitab dan risalah tentang hukum merupakan ruang lingkup fikih.
Sejalan dengan waktu dan disertai oleh tersebarnya agama Islam ke seluruh penjuru dunia, tentu saja telah terjadi kontak sosial dan budaya, sedikit banyak berpengaruh kepada ajaran agama Islam  Budaya masyarakat dari waktu ke waktu akan mengalami perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman Ajaran Islam itu dituntut untuk dapat menyesuaikan dan menjawab segala macam tantangan zaman, karena syariah Islam adalah syariah yang berdasarkan wahyu Ilahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah dikenal, baik yang dinukilkan dari Nabi, seperti: al-Qur'an dan Sunnah, atau pun yang diwujudkan oleh akal.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa makna politik dalam perspektif agama islam ?
2.      Bagaimana nilai-nilai sistem politik berdasarkan Al-Quran ?
3.      Bagaimana ruang lingkup siyasah dusturiyyah ?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Politik Islam

  1. Politik dari segi Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata politik mempunyai beberapa pengertian, yaitu: (1) ilmu/pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[1]
Secara etimologi kata “politik” berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata “polis” yang memiliki arti kota dan Negara kota. Kata “polis” tersebut berkembang menjadi kata lain seperti “politis” yang berarti warga Negara dan “politikus” yang berarti kewarganegaraan. [2]
  1. Politik dari Segi Agama
Persoalan hubungan agama dan negara di masa modern menjadi salah  satu subjek penting yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam hingga sekarang  namun tetap belum terpecahkan secara mutlak. Otoritas politik memiliki urgensinya dan harus terwakilkan sebagai institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut para sosiolog teorisi politik islam membuat beberapa teori mengenai hubungan antara agama dan negara. Teori-teori tersebut dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik[3].

a.       Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan konsep mengenai hubungan antara agama dan negara sebagai dua lembaga yang menyatu (interated) yang menganggap bahwa agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat tidak dipisahkan.  Ini juga memberikan suatu makna bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep agama-negara. Yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. kemudian paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam : din wa dawlah.
b.      Paradigma simbiotik
Dalam konteks ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga Negara yang memerlukan agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Dalam konsep ini, hubungan agama dan Negara merupakan suatu hal yang saling membutuhkan dan bersifat timbal balik.
Dalam paradigma ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al Siyasah al Syar’iyyah: 162). Pedapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial, tetapi bisa saja diwarnai oleh syari’at.
c.       Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terdapat pemisahan  antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda yang memiliki spesialisasi bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Sehingga hokum yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan syari’ah.
Konsep sekularistik berasal dari pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah saw pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan politik. Rasulullah saw hanya penyampaian risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada manusia

Cita-cita politik seperti yang dijanjikan Allah kepada orang-orang beriman dan beramal saleh dalam al-Qur’an adalah (1) terwujudnya sebuah sistem politik, (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap, dan (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.[4]
Berdasarkan perkembangan sejarah islam, menurut para ahli, dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu periode klasik (1250 M), pertengahan (1250 – 1800 M), dan modern (1800-sekarang).
A.    Pemikiran Politik Islam Abad Klasik dan Pertengahan.
Al-Farabi, al-mawardi, al-ghazali, dan Ibn Taimiyah serta Ibn Khaldun adalah para tokoh pemikir dan praktisi politik abad klasik dan pertengahan. Dalam beberapa hal mereka memiliki kesamaan visi dan pemikiran. Akan tetapi, sebagai anak dari zaman yang berbeda dari apa yang mereka hadapi menimbulkan perbedaan yang terkadang bahkan cukup mendasar.
Ciri umum politik islam pada masa klasik dan pertengahan yaitu ditandai oleh pandangan yang bersifat khalifah sentris. Kepala negara atau khalifah memegang peranan utama dan memiliki kekuasaan yang sangat luas, rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara, bahkan sebagian pemikir sunni terkadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar untuk melegitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya dengan menjadikan landasan yang bersumber dari Al-Quran, seperti An-Nisa 4: 59

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(An-nisa ayat 59).
Serta surah Al-An’am 6:165 yang berbunyi sebagai berikut.

Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Selain itu, Hadis Nabi SAW juga terdapat hal-hal mengani kepatuhan terhadap kepala negara. Seperti orang yang keluar dari jamaah, lalu meninggal dunia maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah. Al Mawardi mengutip hadis yang berasal dai Abu Hurairah yang memerintahkan umat islam mendengarkan dan menaati pemimpin setelah nabi, baik atau buruk “Kalau pemimpin itu baik, maka kebaikannya untuk ketentraman kalian dan ia akan mendapat pahala. Sebaliknya, kalau pemimpin itu buruk, maka kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa” dengan demikian, berpengaruh besar terhadap perkembangan politik islam terutama sejak dinasti Bani Abbas berkuasa hingga Abad Pertengahan
            Di masa ini, terjadi perubahan konsep khalifah setelah al-khulafa al-rasyidin. Pada masa khalifah yang keempat pasca wafatnya Rasulullah, kepala negara hanyalah sebagai khadim al ummah (pelayan umat) yang lebih mengutamakan pelayanan kepentingan umat islam dan dipilih tidak berdasarkan garis keturunan, lalu kemudian setelah itu berubah menjadi Zhill Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah di muka bumi) dan diangkat secara turun-temurun. Perubahan konsep ini bermula dari pernyataan Abu Ja’far Al-Manshur ketika berhasil menumbangakan kekhalifahan dinasti bani Umaiyah. Ia mengklaim dirinya sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Kekuasaannya dipandang suci dan mutlak serta harus dipatuhi oleh umat islam. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya kontrol masyarakat terhadap kekuasaan. Di kalangan pemikir kelompok Sunni terdapat suatu pandangan yang tidak membenarkan melakukan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa, bahkan pemberontakan meskipun pemerintahannya bersifat korup dan despotik.
B.     Pemikiran Politik Islam Modern
Pada abad ke 19 hingga awa abad ke 20 memperlihatkan hampir seluruh wilayah islam berada di bawah penjajahan negara barat. Umat islam lebih banyak mengandalkan pemahaman ulama-ulama masa lalu, daripada melakukan terobosan-terobosan baru dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Kontak umat islam negara barat membawa hikmah bagi umat islam. Adanya kkontak tersebut menyadarkan umat islam bahwa telah mengalami kemunduran dibandingkan dengan barat. Keadaan tersebut terbalik dari abad pertengahan saat umat islam menguasai ilmu dan peradaban. Tokoh pemikir pada zaman ini yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afgani, Moh Abduh, Muh Rasyid Ridha, Muh Iqbal, Mustafa Kemal, Thaha Husein hingga Abu al- A’la al-Maududi.
      Keadaan berbalik pada masa modern, kekalahan-kekalahan dinasti utsmani dari barat membuat negara barat dapat menguasai dunia islam. Di samping menjajah, negara barat juga mengembangkan gagasan pemikiran dari kebudayaan mereka ke tengah-tengah masyarakat muslim. Menghadapi pengaruh barat ini, sebagian umat muslim ada yang bersikap apriori dan antii barat. Ada yang menolah dan ada pula yang berusaha mengambil nilai-nilai positif dari peradaban pemikiran barat, si damping membuang nilai-nilai yang bertentangan dengan islam.
      Muncullah beberapa kolompok pada masa ini, yaitu kelompok pertama, kelompok integralis yang menganggap bahwa islam adalah agamayang sempurana, umat islam harus meneladani politik yang dijalankan Rasulullah dan penerusNya tanpa meniru barat. Kelompok kedua adalah kelopok sekularis yang menganggap islam dan politik merupakan kelompok yang berbeda. Islam tidak menggariskan aturan politik yang baku dan Nabi SAW diutus idak untuk mendrikan negara. Untuk kemajuan  politik umat islam, umat islam boleh menirukan perkembngan peradaban politik barat. Kelompok ketiga adalah kelompok yang meolak pandangan kelompok pertama dan kedua. Mereka berpendapat bahwa islam hanya memberikan seperangkat nilai-nilai politik yang harus diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi umatnya. Oleh karena itu, umat islam mengadpsi politik barat sejauh tidak bertentangan dengan nilia-nilai ajaran umat islam.
      Beberapa negara di dunia sebagian besar sedang mengembangkan model simbiotik multikulturalistik, antara lain Amerika Latin, Inggris dan Indonesia sendiri dengan negara Pancasila-nya sebagai dasar negara yang mempresentasikan hubungan yang harmoni antara imparsialitas negara dengan nilai-nilai agama yang dianut pemeluknya. Agama tetap bisa memberi peran serta dan sumbangan dalam kehidupan bernegara, dan negara selalu mengayomi kehidupan keagamaan di Indonesia, namun di sisi lain negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekular.

2.2  Nilai-nilai sistem politik dalam Al-Quran

Al-Qur’an tidak mengemukakan secara eksplisit mengenai suatu struktur dan fungsi sistem politik, akan tetapi dapat ditemukan adanya unsur-unsur tersebut. Di dalam Al-Quran, Allah mewajibkan kita untuk taat kepada pemerintah yaitu kepala negara. Di dalam Al-Quran, Allah berfirman

       Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit.Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al-Maidah: 44)
Sehingga konsekuensi terhadap fungsi-fungsi pemerintahan adalah adanya struktur yang dimiliki oleh sistem politik, struktur fundamentalnya terdiri atas unsur lembaga pemerintahan dan unsur rakyat. Mengenai pelembagaan struktur tidak dapat ditemukan secara ekplisit dalam Al-Quran akan tetapi konsep mengenai struktur poltik dapat di wujudkan berdasarkan prinsip-prinsip politik yang terkandung di dalam Al-Quran dan dari implementasi pemerintahan Rasulullah SAW dan  para khulafa al-rasyidin sesudahnya. Sehingga dalam konteks tersebut, Allah hanya memberikan konsepsi prinsip-prinsip taat kepada struktur pemegang pemerintahan sebagai berikut.

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(An-nisa ayat 59).
Sebagian golongan mengatakan bahwa yang dinamakan khalifah adalah wakil atau pengganti karena ia bertugas menggantikan dan mewakilkan peran Rasulullah SAW dalam memimpin umat islam. Ulama berbeda pendapat dimana sebagian ulama memperbolehkannya karena ia bertuga menjalankan hak-hak Allah atas hamba-hamba-Nya berdasarkan firma Allah SWT, 

Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An’am:165)
Akan tetapi jumhur ulama melarang hal tersebut, mereka menilai orang yang memanggil kepala negara seperti itu sebagai orang yang berbuat dosa, karena perwakilan hanya dapat dilakukan bagi orang yang tidak ada atau telah mati, sementara Allah Mahaada dan tidak pula mati.[5]
Demikian pula dalam peradilan, berdasarkan surah Shaad:26, yaitu
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nfsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.....”
Allah SWT tidak semata-mata memberikan mandat tanpa wewenang untuk bertindak dan tidak memberikan toleransi baginya untuk mengikuti hawa nafsunya sehingga menggolongkannya sebagai sesat. Meskipun seseorang memiliki hak berdasarkan agama dan jabatan kepala negara, akan tetapi ia termasuk bagian dari hak-hak politik seluruh rakyat. Sehingga ia harus melakukan kebijkan politik umat islam dengan baik dan menjaga negara. Dalam konteks perang pada masa Rasulullah, penyerahan wewenang dan mandat kepada pimpinan ditujukan untuk mengatur strategi perang sehingga tidak ada pendapat yang berbenturan yang mengakibatkan perpecahan. Landasan tersebut berdasar pada surah An-Nisa : 83 yang menyatakan “.....Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)...”
Al-Quran sebagai pedoman umat islam mengandung nilai-nilai dasar yang harus diimplementasikan dalam pengembangan sistem politik Islam, diantaranya :
1.      Keharusan mewujudkan persatuan umat sebagaimana QS Al-Mukminun :52 dan Q.S. Al-Anbiya :92.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” QS. Al-Mukminun:52 dan QS. Al-Anbiya:92.
2.      Musyawarah dalam penyelesaian masalah, sebagaimana QS. As-Syura:38 dan QS. Ali-Imron:159
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” QS. As-Syura:38
Dan demikian pula pada surah Ali Imron sebagai berikut:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” QS. Ali-Imron:159.
3.      Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. QS. An-Nisa:58 sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. An-Nisa:58
4.      Keharusan menaati Allah, Rasulullah dan Ulil amri sebagaimana dalam QS. An-Nisa:59 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” QS. An-Nisa:59.
5.      Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam berdasar pada QS. Al-Hujurat:9 yang artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al-Hujurat:9.
6.      Keharusan mempertahankan kedaulatan negara (QS. Al-Mumtahanah:1) yaitu “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
7.      Mengutamakan perdamaian daripada permusuhan (QS. Al-Hujurat:9). “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al-Hujurat:9.
8.      Keharusan menepati janji berdasar pada surah An-Nahl:91 yang artinya : “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” QS. An-Nahl:91.
9.      Kewajiban taat terhadap pelaksanaan hukum sebagaimana QS. Al-An’am:57.
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik".” QS. Al-Anam:57.

2.3  Siyasah Dusturriyah.

                        Dalam kamus bahasa Arab, siyasah secara etimologi mempunyai beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan, pemerintahan dan politik[6]. Sedangkan secara istilah atau termologi, siyasah adalah suatu perbuatan yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan walaupun Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak mewahyukannya baik kepentingan agama, sosial dan politik.
            Siyasah dusturiyah merupakan salah satu bagian fiqh siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara. Dalam hal tersebut juga membahas konsep-konsep konstitusi meliputi undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya perundang-undangan dalam suatu negara, legislasi mengenai bagaimana cara perumusan undang-undang, lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar-pilar utama dalam perundang-undangan tersebut. Selain itu, kajian ini juga membahas konsep negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara pemerintah dan warga negara serta hak-hak warga negara yang wajib dilindungi.[7]
                         Di dalam Trias Politica, Terdapat tiga fungsi utama yang dikenal sebagai fungsi output atau fungsi pemerintahan dapat ditemukan. diantaranya dalam kewajiban pemerintah membuat peraturan-peraturan hukum yang adil yaitu fungsi legislatif, melaksanakan hukum-hukum agama dan hukum perundang-undangan yaitu fungsi eksekutif, dan melaksanakan tugas peradilan terhadap tindakan-tindakan yang menyerang dan melanggar hukum (fungsi yudikatif).
            Fiqh Siyasah Dusturiyyah mencangkup berbagai bidang kehidupan yang cukup luas dan kompleks. Sumber fiqh dustur yang pertama adalah Al-Quran Al-Karim . Kemudian kedua adalah hadis-hadis yang berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasulullah SAW di      dalam menerapkan hukum di Negeri Arab. Ketiga, kebijakan-kebijakan khulafa al-rasyidin di dalam mengendalikan pemerintahan. Walaupun berbeda gaya pemerintahan, tetapi pada dasarnya mereka memiliki persamaan untuk berorientasi sebesar-besarnya untuk kemashlahatan rakyat. Keempat, hasil ijtihad para ulama, dimana di dalam masalah fiqh dusturihassil ijjtuuhad ulama sangat membantu dalam memahami semagat dan prinsip fiqh dusturi. 
            Fiqh Siyasah Dusturiyyah dapat dibagi menjadi :
  1. Bidang Siyasah Tasyri’iyah, politik perundang-undangan meliputi pengkajian tentang penetapan hukum oleh lembaga legislatif seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pelaksanaan, Peraturan Daerah, dan sebagainya. Sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 mengatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut selaras dengan QS. Al-Ikhlas Ayat 1 yang artinya “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa” sehingga UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang berhubungan dengan keyakinan (akidah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama menjadi konsep utama dengan dijadikannya sebagai sila Pancasila yang pertama. Pada alenia ketiga, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa....” menandakan bahwa Indonesia mengakui nilai-nilai agama yang sekaligus dijadikan dasar dalam membangun hukum positif dan dasar moral negara.
  2. Bidang Siyasah Tanfidiyyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah yang berada di bidang eksekutif dalam melaksanakan undang-undang. Seperti halnya pemerintah memberikan keistimewaan melalui UU no. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi NAD yang kemudian diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk melaksanakan hukum pidana islam.
  3. Bidang Siyasah Qadlaiyah, menyangkut masalah-masalah peradilan oleh lembaga yudikatif.  Nilai-nilai keislaman dapat ditemukan di sejumlah pasal terutama pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
  4. Bidang Siyasah Idariyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah administratif dan kepegawaian oleh birokrasi atau eksekutif. Birokrasi memberikan kejelasan bagi rakyatnya sebagaimana melalui yang tercantum dalam UU no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan, yang kemudian dikembangkan lagi dengan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.[8]



[1] Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, cet. Ke-8. hlm. 694.
[2] A.P .Cowie, Oxford Leaner’s Dictionary , Oxford: Oxford University Press, 1990, hlm. 190.
[3]Agustia Rahman ,”Agama dan Negara”, diakses dari  http://www.agustiarahman.com/2010/05/agama-dan-negara.html, pada tanggal 07 Mei 2018 pukul 14:39

[4] Abdul Mu’in Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 290
[5] Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam.Jakarta : Gema Insani Press,2002, hlm. 36
[6] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-5, 2002, hlm. 23.
[7] Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah ‚ Konstektualisasi Doktrin Politik Islam‛. Jakarta, Prenadamedia Group. 2014,  hlm. 177 2
[8]_,”Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyyah”, diakses dari  https://www.suduthukum.com/2017/04/ruang-lingkup-siyasah-dusturiyah.html, pada tanggal 07 Mei 2018 pukul 17:39


1 komentar:

  1. Langit dan bumi beserta seluruh isinya adalah hasil ciptaan dan milik ALLOH SWT, maka yg yg berkuasa penuh untuk menjadi Raja / Pemimpin dan Penguasa / Pe-merintah di jagat raya ini hanyalah ALLOh SWT...

    Sedangkan makhluk-Nya yg diberi Legalitas oleh ALLOH SWT untuk menjadi RAJA / Penguasa / Pemerintah di planet Bumi ini hanyalah Para ROSUL-NYA dari sejak Nabi Adam AS hinngga Nabi Muhammad SAW.

    Setelah Nabi Muhammad SAW Wafat maka yg berhak menjadi Pewaris RISALAH (Aqidah, Syari'ah, Qiyadah dan Daulah Islam adalah Kholifah Islam yg diangkat melalui mekanisme Syuro Assyiasah.

    JAdi setiap pemimpin itu harus menjadi WAKIL ALLOH SWT dibumi untuk mewujudkan Aqidah Islam, Syariah Islam, dan Qiyadah (kepemimpinan) Islam dalam wadah Daulah/Khliafah Islam.

    Jika tidak begitu berarti ia telah berkhianat dan dzolim kepada ALLOH SWT, ia telah menghianati Alloh SWT sebagai Tuhannya

    BalasHapus