Kamis, 03 Januari 2019

ISU KETIMPANGAN SEBAGAI FAKTOR PENDORONG DESENTRALISASI


ISU KETIMPANGAN SEBAGAI FAKTOR PENDORONG DESENTRALISASI
Sistem desentralisasi yang diterapkan sejak lahirnya era reformasi merupakan suatu bentuk penolakan terhadap  sistem sentralisasi yang dianggap telah gagal dalam berbagai pembangunan aspek kehidupan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut terjadi karena sistem sentralisasi yang berpegang teguh pada konsep pusat pertumbuhan justru mengabaikan aspirasi-aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah.
            Di Orde Baru,  pertumbuhan ekonomi yang terpusat mengakibatkan suatu proses sirkuler yang menguntungkan hanya bagi pemilik modal yang berada di pusat sedangkan mereka yang bukan pemilik modal yaitu masyarakat daerah menjadi semakin miskin, sehingga semakin memperlebar ketimpangan pembangunan di Indoensia.
            Pada masa berakhirnya Orde Baru, muncul pandangan untuk mweujudkan pembangunan kesejahteraan dan keadilan sosial pada masyarakat majemuk harus memperhatikan karakteristik di daerah masing-masing, karena setiap daerah memiliki sistem budaya, kepecayaan, kekayaan daerah dan unsur-unsur lokal yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu sistem pengaturan yang berbeda juga maka diberlakukanlah sistem desentralisasi yang menyerahakan kewenangan pusat kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai aspirasi-aspirasi masyarakat lokal sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan dalam kerangka NKRI. Konsep Desemntralisasi yang diberlakukan tersebut diharapkan mampu memperbaiki distribusi pendapatan warga negara Indonesia.
            Desentralisasi tersebut tidak lain diimplementasikan  terhadap empat isu utama, yaitu ketimpangan, span of control,isu anggaran, dan variasi antarkawasan. Isu ketimpangan terdiri atas ketimpangan antara pusat dan daerah, kota dan desa, jawa dan luar jawa, gender, dan pendidikan.


1.      Ketimpangan antara Pusat dan Daerah

1.1      Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan manusia merupakan indikator tingkat pembangunan dan kesejahteraan masyarkat dengan memperhatikan beberapa hal, seperti angka harapan hidup, dan kualitas pendidikan-kesehatan dengan penghitungan melaui perbandingan dari angka harapan hidup, pendidikan dan standar hidup yang layak.
Penulis mengambil sampel ketimpangan antara pusat dan daerah dari provinsi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, Jawa Timur sebagai pembangunan daerah yang berlokasi dekat dengan Jakarta, dan Papua sebagai provinsi dengan indeks pembangunan terendah nasional.
IPM terendah nasional yaitu Provinsi Papua pada era Orde Baru sebesar 60.2 tumbuh menjadi 66.25 di era Reformasi. Apabila dibandingkan dengan IPM pusat, ketimpangan Papua dan Pusat di era desentralisasi mengalami perkembangan baik, dari orde baru yang selisihnya 15.9 menjadi 12.34 di era reformasi desentralisasi. Perbandingan antara Papua dengan Indeks Terendah, Jawa Timur dengan indeks IPM menengah dan Jakarta dengan Indeks IPM tertinggi nasional sebagai berikut.

1.1.1        Ketimpangan Indeks Pembangunan Manusia di Orde Baru

(BPS, Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi, 2015)
Dari data tersebut, IPM Provinsi Papua selisih 7,5 dari IPM nasional. Sedangkan apabila dibandingkan dengan IPM Provinsi Jakarta selisih 15.9.
1.1.2    Ketimpangan Indeks Pembangunan Manusia di Era Reformasi dan Desentralisasi

(BPS, Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi, 2015)
Dari data tersebut, IPM Provinsi Papua selisih 7,56 dari IPM nasional. Sedangkan apabila dibandingkan dengan IPM Provinsi Jakarta selisih 12,34..
Indeks Pembangunan Manusia atau IPM tersebut dihitung menggunakan beberapa variabel yaitu angka kesehatan, pendidikan dan ekonomi atau standar hidup layak.

(Statistik, Ketimpangan di Papua Turun Dalam Dua Tahun Terakhir, 2018)
Bahkan pada bulan Maret tahun 2018, ketimpangan di Papua mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir walaupun angka kemiskinan di Papua sendiri mengalami peningkatan. Papua masih berada di posisi sebagai provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia yang mencapai 27,74% dari jumlah populasi, namun angka ktimpangan atatu gini ratio mengalami penurunan sebesar  0,013 poin menjadi 0,384 dari skala 0-1 Angka ketimpangan Papua sedikit di bawah Angka ketimpangan nasional yang mencapai 0,389. Sementara ketimpangan tertinggi jutru berada di Pulau Jawa yaitu Provinsi Yogyakarta dengan Gini ratio sebesar 0,441.

(Statistik, Ketimpangan Hidup di DKI Jakarta di atas Rata-rata Nasional, 2018)
 Provinsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia yang memiliki tingkat ketimpangan hidup di atas rata-rata nasional. Nilai gini rasio Ibukota Indonesia pada Maret 2017 sebesar 0,41. Angka ini terus meningkat secara konsisten sejak 2007. Gini rasio berada dalam rentang nilai 0 hingga 1, apabila semakin mendekati 1, artinya ketimpangannya semakin besar. Sedangkan nilai 0 menunjukkan ada pemerataan. Gini rasio Provinsi DKI Jakarta ini terbilang tinggi melampaui rata-rata nasional sebesar 0,393. Artinya apabila DKI Jakarta dan Papua mulai menuju titik temu berarti mulai ada pemerataan antara ptovinsi pusat dan daerah..
Adapun dalam provinsi ketimpangan tertinggi terjadi bukan hanya di Pusat Ibukota Jakarta. Melainkan di provinsi daerah lainnya dengan data statistik 10 provinsi dengan gini ratio atau ketimpangan tertinggi seperti gambar berikut.


 

1.2   Kebijakan dan Program Pemerintah Menghadapi Ketimpangan Pusat-Daerah
Pemerataan dilakukan dengan menyebar proyek infrastruktur strategis nasional di luar Jakarta dan Pulau Jawa. Selain untuk meningkatkan konektivitas, terutama di daerah perbatasan yang tertinggal, juga memacu perekonomian di daerah. Terkait ketimpangan di Indonesia, dalam data Kantor Staf Presiden, per semester I-2017 Indeks Gini Indonesia sebesar 0,39. Meski mengalami penurunan, tingkat ketimpangan tersebut masih jauh dari target pemerintah. Sejumlah indikator pemerataan tersebut yaitu anggaran infrastuktur melonjak 118% dubandingkan 2014, ratio gini turun 3,2%, kemiskinan berkurang 5,4%, pengangguran berkurang 6,5%. Penyebaran proyek strategis nasional tersebut berada di Sumatera 161 proyek, jawa 193 proyek, Bali dan Nusa Tenggara 115 proyek, Kalimantan 124 proyek, Sulawesi 127 Proyek, Maluku dan Papua 113 Proyek. Dengan demikian, pembagunan infrastruktur sebenarnya masih terpusat di Jawa.
2.      Ketimpangan antara Kota dan Desa
Ketimpangan antara kota dan desa terjadi akibat kurangnya pembangunan infrasruktur di daerah pedesaan yang mengakibatkan lahan produksi hanya sebatas sektor pertanian dan perikanan sedangkan permintaan lahan pekerjaan yang tidak terpenuhi di pedesaan mendorong terjadinya urbanisasi penduduk ke daerah perkotaan. Hal tersebut mendorong terpusatnya pembangunan infrastruktur secara masif di daerah perkotaan saja sehingga pembangunan desa terabaikan dan munculah masyarakat miskin di daerah pedesaan akibat kurangnya lahan pekerjaan yang layak.
2.1      Jumlah Penduduk Miskin antara Kota dan Desa
2.1.1 Jumlah Kemiskinan Desa-Kota di Era Orde Baru
Berikut grafik ketimpangan kemiskinan antara kota dan Desa di Indonesia.

(BPS, Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 2017)
·         Program Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Di era sentralisasi Orde Baru, pengentasan ketimpangan kemiskinan antara desa-kota sebenarnya merupakan program pembangunan pemerintah pada saat itu, seperti program infrastruktur listrik masuk desa dan program dana desa sehingga ketimpangan tersebut dapat diminimalisasi dari tahun ke tahun.
            2.1.2 Jumlah Kemiskinan pada Era Reformasi
Berikut grafik indeks ketimpangan kemiskinan antara kota dan Desa di Indonesia setelah era reformasi dan desentralisasi.

(BPS, Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 2017)
·         Program Kebijakan Pemerintah Reformasi-Desentralisasi
Adapun di era desentralisasi, ketimpangan antara desa dan kota juga dapat dikurangi dari tahun ke tahun guna pemerataan ekonomi dalam mensejahterakan masyarakat. di era reformasi kebijakan untuk desa seperti reforma agraria, BUMDes, Embung Prukades dan juga koperasi desa untuk pemberdayaan masyarakat sekitarnya



3.      Ketimpangan antara Jawa dan Luar Jawa
3.1      Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa pada era sentralisasi menimbulkan berbagai gerakan separatisme di beberapa daerah, seperti OPM di Papua dan GAM di DI Aceh. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan di daerah menimbulkan ketidakseimbangan antara eksploitasi pemerintah dari daerah yang tinggi terhadap pembangunan dari pemerintah untuk daerah luar jawa yang minim. Hal tersebut terjadi karena pemilik modal berada terpusat di pulau jawa sedangkan masyarkat luar daerah hanya menjadi pegawai perusahaan daerah yang dieksploitasi kekayaan sumber daya alam daerahnya. Sehingga muncul ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang mendorong timbulnya konsep desentralisasi di pemerintahan Indonesia.
Berikut perbandingan data pendapatan daerah di provinsi-provinsi di pulau jawa, yaitu Banten, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat. Sedangkan pendapatan provinsi luar jawa diwakilkan oleh Provinsi terluar di Indonesia yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat.

(BPS, Rekapitulasi Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi (juta rupiah) 2006 - 2016, 2017)
            Pada tahun 2016, walaupun konsep desentralisasi telah dberlakukan selama bertahun-tahun, akan tetapi penerimaan terbesar APBD dari pembangunan di daerah masih berada di Provinsi Jakarta yang berasal dari komersil dan industri walaupun sebenarnya minim sumber daya alam apabila dibandingkan Papua. Akan tetapi, Pendapatan Papua berada di atas dari Provinsi Yogyakarta dan Banten sedangkan Papua Barat masih berada di posisi terbawah.
            Keuntungan dari desentralisasi juga berada di tangan Provinsi Aceh yang melampaui pendapatan Provinsi yang ada di pulau Jawa yaitu Provinsi Banten dan DI Yogyakarta.
4.      Ketimpangan Gender
Ketimpangan gender adalah keadaan dimana perempuan dan laki-laki tidak memiliki status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak asasinya secara penuh untuk dapat berpotensi menyumbangkan dirinya dalam kegiatan pembangunan negara. Adapun ketimpangan gender disebabkan oleh beberapa hal seperti kebudayaan patrilineal maupun pengalaman dan pendidikan suatu individu tertentu.
4.1  Rasio Jumlah Penduduk Nasional
Berdasar pada proyeksi Bappenas 2013, jumlah penduduk Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa dengan komposisi penduduk 133,17 juta laki-laki dan 131,88 juta jiwa perempuan. Data lain menyebutkan, jumlah kelahiran pada tahun tersebut mencapai 4,81 juta jiwa sedangkan kematian mencapai 1,72 juta jiwa. Tidak hanya itu, rasio angka ketergantungan sebesar 47,9%.

(Bappenas, 2018)
Partisipasi wanita dalam pemerintahan dapat dilihat dari rasio keanggotaan parlemen Dewan Perwakilan Rakyat dan kelembagaan pemerintahaan yang lainnya. Di era sentralisasi, partisipasi perempuan dalam parlemen DPR RI tertinggi pada tahun 1997 dengan jumlah 62 orang kemudian berkembang menjadi jumlah tertinggi era desentralisasi reformasi yaitu pada tahun  2009 dengan jumlah 100 orang anggota.
Artinya perbandingan antara partisipasi wanita dalam perlemen di era orde baru secara rata-rata lebih rendah dibandingkan era desentralisasi. Isu ketimpangan gender seakan mulai teratasi secara perlahan dari tahun ke tahun.
4.2      Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Berdasarkan Gender
4.2.1        Anggota DPR RI era Orde Baru

(BPS, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Jenis Kelamin, 2017)
   Jumlah partisipasi tertinggi wanita terjadi pada tahun 1997 dengan 62 orang anggota wanita.
4.2.2        Anggota DPR RI era Reformasi

(BPS, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Jenis Kelamin, 2017)
Jumlah partisipasi wanita terbanyak terjadi pada era pemerintahan SBY tahun 2009 dengan jumlah 100 orang anggota wanita. Walaupun demikian, partisipasi wanita pada DPR tahun 2014 menurun. Akan tetapi, jumlah partisipasi wanita pada kabinet tersebut cenderung meningkat.
·         Kebijakan bagi Ketimpangan Gender
Ketimpangan gender terjadi karena faktor sosiologis termasuk budaya, oleh karena itu budaya organisasi pemerintahan menerapkan kewajiban dan posisi istimewa bagi gender wanita untuk berpartisipasi lebih melalui affirmative gender dalam perpolitikan Indonesia, gender mainstreaming, partisipasi dalm perencanaan dan pembangunan serta menjadi pengelola simpan pinjam.
5.      Ketimpangan Pendidikan
Pendidikan merupakan indikator penting yang berperan dalam pembangunan sebagai investasi untuk meningkatkan sumber daya manusia, memperkuat modal fisik, dan kemampuan menyesuaikan kemampuan teknik dalam pembangunan.
Pada era sentralisasi pemerintah telah mencangkan program Repelita yang mewajibkan wajib belajar 6 tahun yang telah berhasil meningkatkan partisipasi anak usia sekolah dalam pendidikan dasar. Kemudian berkembang menjadi kebijakan yang mewajibkan wajib belajar 9 tahun dan dalam jangka waktu sekitar 10 tahun hapir semua penduduk usia 7 -15 tahun mengikuti pendidikan dasar.
Adapun yang dimaksud ketimpangan pendidikan di sini adalah suatu wilayah dengan jumlah penduduk yang lebih banyak namun memiliki layanan pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang penduduknya lebih sedikit. Atau suatu wilayah belum mendapatkan fasilitas layanan pendidikan dibandingkan dengan wilayah yang lainnya.
5.1   Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia berdasarkan Provinsi Tahun 2014/2015

Provinsi
Negeri
Swasta
Aceh
7
107
Sumut
3
266
Sumbar
5
100
Riau
2
75
Jambi
1
38
Sumsel
2
106
Bengkulu
1
16
lampung
3
78
Kep. Bangka
2
15
Kep Riau
2
30
Jakarta
5
315
JaBar
12
381
JaTeng
9
248
Yogyakart
4
106
Jawa Timur
17
329
Banten
1
109
Bali
4
57
NTB
1
53
NTT
4
50
Kalbar
4
43
Kalteng
1
22
Kalsel
3
46
Kaltim
6
54
Kalut
 -
-
Sulut
4
49
Sulteng
1
34
Sulsel
4
206
Sul Tenggara
2
37
Gorontalo
1
13
Sulbar
1
17
Maluku
3
26
Maluku Utara
1
16
Papua Barat
2
22
Papua
3
40


(BPS, Jumlah Perguruan Tinggi, Mahasiswa, dan Tenaga Edukatif (Negeri dan Swasta) di Bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Menurut Provinsi tahun ajaran 2013/2014-2014/2015, 2017)
Kemajuan di era desentralisasi dapat diamati melalui pertumbuhan layanan pendidikan di tingkat tertinggi, yaitu tingkat perguruan tinggi atau universtas baik yang berstatus negeri maupun swasta. Karena apabila terdapat utingkat universitas di suatu daerah, maka dapat menjadi indikator bahwa tersedianya layanan pendidikan di tingkat dasar, menengah pertama hingga menegah akhir. Adapun di era reformasi desentralisasi ini, ketimpangan terjadi bagi provinsi Kalimantan Utara yang belum menyediakan pendidikan hingga ke tingkat universitas sedangkan Jawa Timur menyediakan jumlah universitas hingga berjumlah 406 perguruan tinggi. Akan tetapi, di era desentralisasi ini dalam pemerataan pendidikan, hampir di seluruh provinsi di Indonesia telah menyediakan pelayanan pendidikan hingga ke jenjang universitas.
5.2   Jumlah Mahasiswa di Indonesia berdasarkan Provinsi Tahun 2014/2015
Adapun apabila tersedia lulusan perguruan tinggi di setiap provinsi di Indonesia, maka diharapkan masyarakat lokal di daerah tersebut dapat membangun daerahnya dengan segenap pengetahuan dan pemahaman manajemen sumber daya lokal untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan. Adapun jumlah keberadaan mahasiswa di setiap provinsi di Indonesia sebagai berikut.
Provinsi
Negeri
Swasta

Aceh
 55 658
 76 997
Sumut
 81 554
 329 503
Sumbar
 66 382
 97 611
Riau
 36 032
 85 612
Jambi
 19 195
 38 543
Sumsel
 43 500
 125 525
Bengkulu
 18 312
 25 575
lampung
 26 240
 85 238
Kep. Bangka
 3 838
 6 632
Kep Riau
 10 009
 29 170
Jakarta
 485 699
 475 113
JaBar
 183 165
 528 296
JaTeng
 141 632
 335 170
Yogyakart
 118 817
 232 476
Jawa Timur
 235 100
 512 852
Banten
 16 140
 153 690
Bali
 37 966
 58 761
NTB
 12 600
 73 588
NTT
 22 218
 48 123
Kalbar
 32 699
 48 880
Kalteng
 11 535
 16 139
Kalsel
 17 957
 57 363
Kaltim
 43 755
 56 265
Kalut


Sulut
 45 657
 19 342
Sulteng
 25 885
 41 814
Sulsel
 58 607
 228 849
Sul Tenggara
 26 912
 38 689
Gorontalo
 13 949
 16 644
Sulbar
 1 522
 12 017
Maluku
 13 995
 15 516
Maluku Utara
 10 641
 24 295
Papua Barat
 6 159
 20 954
Papua
 34 781
 23 066

Dari data tersebut, jumlah mahasiswa di Sulawesi Barat menjadi yang terendah dari provinsi-provinsi di Indonesia, sedangkan jumlah tertinggi masih berada di Provinsi DKI Jakarta. Artinya, ketimpangan pendidikan antara pusat dan daerah masih terjadi.

6.         Kesimpulan
Era sentralisasi Orde Baru walaupun memiliki beberapa program khusus yang dijadikan sebuah kebijakan dalam mengatasi ketimpangan nyatanya tetap saja terjadi ketimpangan yamg sangat tinggi antara pusat dan luar pusat, termasuk luar jawa dari segi bidang sosial-budaya, politik pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Oleh karena itu, timbul berbagai gerakan separatisme diberbagai daerah di Indonesia.
Namun demikian, di era desentralisasi reformasi ini. Ketimpangan masih saja terjadi, baik ketimpangan pusat-daerah, Jawa dan luar Jawa, Desa dan Kota, gender serta pendidikan. Walaupun ketimpangan terjadi saat ini lebih rendah dibandingkan pada masa sentralisasi orde baru. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tetap melakukan berbagai upaya untuk mengatasi ketimpangan yang masih terjadi di Indonesia agar terjadi pemerataan yang adil dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan juga seluruh cita-cita bangsa Indonesia.


Daftar Pustaka


Bappenas. (2018, Mei 18). 2018, Jumlah Penduduk Indonesia Mencapai 265 Juta Jiwa. Dipetik 12 15, 2018, dari katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-265-juta-jiwa
BPS. (2017, Novermber 20). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Jenis Kelamin. Dipetik Desember 05, 2017, dari Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/12/1172/anggota-dewan-perwakilan-rakyat-dpr-menurut-jenis-kelamin-1955-2014.html
BPS. (2015, September 19). Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi. Dipetik Desember 5, 2018, dari Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/09/19/909/indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi-1996-2013.html
BPS. (2017, September 05). Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan. Dipetik Desember 05, 2018, dari Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/30/1494/jumlah-penduduk-miskin-persentase-penduduk-miskin-dan-garis-kemiskinan-1970-2017.html
BPS. (2017, Maret 03). Jumlah Perguruan Tinggi, Mahasiswa, dan Tenaga Edukatif (Negeri dan Swasta) di Bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Menurut Provinsi tahun ajaran 2013/2014-2014/2015. Dipetik Desember 05, 2018, dari Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/statictable/2015/09/14/1839/jumlah-perguruan-tinggi-mahasiswa-dan-tenaga-edukatif-negeri-dan-swasta-di-bawah-kementrian-pendidikan-dan-kebudayaan-menurut-provinsi-2013-2014-2014-2015.html
BPS. (2017, November 20). Rekapitulasi Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi (juta rupiah) 2006 - 2016. Dipetik Desember 05, 2018, dari Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/12/1181/rekapitulasi-realisasi-penerimaan-dan-pengeluaran-pemerintah-daerah-provinsi-juta-rupiah-2006-2016.html
Statistik, B. P. (2018, Juli 18). Inilah 10 Provinsi dengan Ketimpangan Tertinggi. Dipetik Desember 15, 2018, dari katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/07/18/inilah-10-provinsi-dengan-ketimpangan-tertinggi
Statistik, B. P. (2018, Juli 26). Ketimpangan di Papua Turun Dalam Dua Tahun Terakhir. Dipetik December 2018, 2018, dari databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/07/26/ketimpangan-di-papua-turun-dalam-dua-tahun-terakhir
Statistik, B. P. (2018, Juli 5). Ketimpangan Hidup di DKI Jakarta di atas Rata-rata Nasional. Dipetik Desember 15, 2018, dari katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/07/05/ketimpangan-di-dki-jakarta-di-atas-rata-rata-nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar